Intoleransi Laktosa, Apakah Sama dengan Alergi Susu?
sfidn.com – Intoleransi laktosa seringkali disamakan dengan alergi susu. Padahal, keduanya berbeda. Alergi terhadap suatu makanan terjadi ketika sistem kekebalan tubuh bereaksi terhadap makanan tersebut. Partikel sekecil apapun bisa memicu reaksi alergi seperti ruam dan gatal. Sementara, intoleransi laktosa terjadi karena tubuh tidak mampu mencerna laktosa, namun beberapa individu masih bisa mengonsumsi laktosa dalam jumlah kecil. Untuk mengetahui lebih lanjut, berikut penjelasan lengkap tentang intoleransi laktosa.
1. Apa itu Intoleransi Laktosa?
Intoleransi laktosa adalah gangguan pencernaan yang disebabkan oleh ketidakmampuan tubuh mencerna laktosa. Laktosa sendiri merupakan gula yang ditemukan dalam susu hewan mamalia. Umumnya, susu sapi biasa dapat mengandung sekitar 4%-5% laktosa. Sementara pada susu murni kering, kandungannya mencapai 36%-38%.
Laktosa juga termasuk disakarida, yang artinya terdiri dari dua gula. Kedua gula ini merupakan gula sederhana glukosa dan galaktosa, yang nantinya akan diserap oleh aliran darah dan digunakan sebagai energi. Namun, tubuh memerlukan enzim laktase dalam prosesnya. Pada kasus intoleransi laktosa, tubuh seseorang mengalami defisiensi laktase atau ketidakmampuan menghasilkan enzim tersebut dalam jumlah yang cukup. Jadi, laktosa terus berada di dalam sistem pencernaan dan difermentasi oleh bakteri yang akhirnya menimbulkan gangguan pencernaan, seperti kembung, buang gas, dan diare.
Laktosa juga ditemukan di ASI dan hampir semua orang dilahirkan dengan kemampuan mencernanya. Karena itulah, intoleransi laktosa jarang ditemukan pada anak di bawah 5 tahun. Kasus intoleransi laktosa pada anak biasanya disebabkan karena infeksi di sistem pencernaan dan hanya berlangsung selama beberapa minggu. Sementara, sebagian besar kasus yang menimpa orang dewasa disebabkan karena turunan dan biasanya berlangsung seumur hidup. Berdasarkan data yang dikumpulkan selama beberapa tahun, sekitar 75% populasi dunia tidak toleran terhadap laktosa, meski jumlah, tingkatan, dan resikonya bervariasi antar tiap negara.
2. Tipe Intoleransi Laktosa
Seperti disebutkan sebelumnya, tingkat intoleransi laktosa tiap orang berbeda-beda. Berikut ini beberapa tipe intoleransi laktosa berdasarkan penyebabnya.
-
Intoleransi Laktosa Primer. Tipe intoleransi ini adalah yang paling umum. Hal ini disebabkan karena adanya penurunan produksi laktase seiring bertambahnya usia. Kebanyakan orang terlahir dengan cukup laktase untuk mencerna ASI. Namun, jumlah ini terus berkurang karena asupan makanan yang beragam dan tidak hanya mengandalkan asupan susu. Penurunan laktase ini bertahap dan sebagian disebabkan oleh genetik. Studi populasi memperkirakan bahwa intoleransi laktosa terjadi di 5%-17% orang Eropa, 44% orang Amerika, serta 60%-80% orang Afrika dan Asia.
-
Intoleransi Laktosa Sekunder. Tipe intoleransi ini cenderung jarang terjadi karena umumnya disebabkan oleh penyakit seperti celiac, infeksi usus, dan radang usus besar, dimana peradangan pada dinding usus dapat menyebabkan penurunan produksi laktase sementara.
-
Intoleransi Laktosa dalam Masa Perkembangan. Bayi yang lahir dalam keadaan prematur dapat mengalami intoleransi laktosa secara sementara akibat usus halus belum berkembang sempurna.
-
Intoleransi Laktosa Bawaan. Kasus intoleransi ini sangatlah jarang terjadi karena intoleransi laktosa diturunkan langsung dari orang tua ke anak. Dimana ketika baru lahir, bayi hanya memiliki sedikit enzim laktase sehingga tidak toleran terhadap ASI. Bayi dengan kondisi ini perlu diberikan susu bayi bebas laktosa.
3. Gejala Intoleransi Laktosa
Seseorang dengan intoleransi laktosa akan mengalami beberapa gejala yang biasanya muncul 30-120 menit pasca mengonsumsi susu atau produk susu yang mengandung laktosa. Gejala ini dapat berupa ketidaknyamanan hingga kesakitan parah, bergantung pada berapa banyak laktase yang dapat dihasilkan dan berapa banyak produk susu yang telah dikonsumsi. Gejala ini meliputi:
-
Kembung
-
Mual
-
Sakit atau kram perut
-
Buang gas
-
Diare
Apabila gejala-gejala tersebut tidak segera diobati, bukan tidak mungkin dapat menyebabkan masalah pencernaan yang semakin parah. Seperti ketika diare terlalu parah, hal tersebut dapat menyebabkan dehidrasi.
4. Penanganan Intoleransi Laktosa
Hingga saat ini, belum ditemukan pengobatan khusus untuk intoleransi laktosa dan cara untuk meningkatkan produksi laktase. Jika menderita intoleransi laktosa, penanganan terbaiknya adalah dengan membatasi atau menghindari makanan yang mengandung laktosa. Berikut ini beberapa makanan yang mengandung laktosa.
-
Susu, seperti susu sapi dan kambing.
-
Produk olahan susu, seperti keju, es krim, yogurt, dan mentega.
-
Makanan lain, seperti biskuit, kue, roti, sereal, bumbu salad, kentang goreng siap saji, sup instan kemasan, serta daging olahan yang biasanya mengandung laktosa. Perhatikan komposisi makanan yang tertera pada label kemasan.
Ada alternatif lain makanan bebas laktosa yang bisa dikonsumsi sebagai pengganti susu dan produknya. Beberapa diantaranya adalah susu kedelai atau susu yang terbuat dari gandum, almond, atau kelapa. Kemudian untuk produk susu bebas laktosa dapat berupa yogurt dan keju tertentu yang bertanda bebas laktosa.
Penderita juga bisa menambahkan suplemen laktase, meski efektivitasnya berbeda-beda tiap orang. Selain itu, penderita bisa mulai menambahkan porsi laktosa secara bertahap guna membantu tubuh beradaptasi dalam mencerna laktosa. Namun, perlu dikonsultasikan kepada dokter terlebih dahulu pola diet yang dianjurkan bagi penderita intoleransi laktosa.
Perlu diingat pula bahwa penderita intoleransi laktosa tetaplah membutuhkan asupan kalsium, yang mana banyak terdapat di susu dan produk turunannya. Berikut ini beberapa makanan dengan kandungan kalsium yang cukup guna memenuhi kebutuhan sehari-hari.
-
Ikan, seperti sarden, makerel, dan salmon.
-
Sayuran hijau, seperti bayam, kubis, dan brokoli.
-
Kacang-kacangan, seperti kacang kedelai.
-
Roti dan makanan lain yang terbuat dari tepung fortifikasi.
Kesimpulan
Intoleransi laktosa berbeda dengan alergi susu. Intoleransi laktosa disebut juga sebagai defisiensi laktase karena tubuh tidak mampu menghasilkan enzim laktase dalam jumlah yang cukup guna mencena laktosa. Hasilnya, laktosa tidak tercena dan tetap berada di sistem pencernaan hingga terinfeksi oleh bakteri dan menyebabkan gangguan pencernaan. Tingkat intoleransi laktosa tiap orang berbeda-beda, begitu pula dengan jeda waktunya, ada yang sementara dan ada yang selamanya. Penanganan terbaik terhadap intoleransi laktosa adalah dengan membatasi atau menghindari makanan dengan kandungan laktosa.
Referensi
-
https://www.healthline.com/nutrition/lactose-intolerance-101
-
https://www.healthline.com/health/lactose-intolerance
-
https://www.nhs.uk/conditions/lactose-intolerance/
-
https://www.medicalnewstoday.com/articles/180120.php
-
https://my.clevelandclinic.org/health/diseases/7317-lactose-intolerance
-
https://www.food-intolerance-network.com/food-intolerances/lactose-intolerance/ethnic-distribution-and-prevalence.html
-
Rienzo, D. T., D'Angelo, G., D'Aversa, F., Campanale, M. C., Cesario, V., Montalto, M., Gasbarrini, A., Ojetti, V. (2013). Lactose intolerance: from diagnosis to correct management. Eur Rev Med Pharmacol Sci, 17(Suppl 2), 18-25
-
Deng, Y., Misselwitz, B., Dai, N., Fox, M. (2015). Lactose Intolerance in Adults: Biological Mechanism and Dietary Management. Nutrients, 7(9), 8020-35. doi: 10.3390/nu7095380
-
Scrimshaw, N. S., Murray, E. B. (1988). The acceptability of milk and milk products in populations with a high prevalence of lactose intolerance. Am J Clin Nutr, 48(4 Suppl), 1079-159. doi: 10.1093/ajcn/48.4.1142
-
Szilagyi, A. (2015). Adult lactose digestion status and effects on disease. Can J Gastroenterol Hepatol, 29(3), 149-56
-
Farnetti, S., Zocco, M. A., Garcovich, M., Gasbarrini, A., Capristo, E. (2014). Functional and metabolic disorders in celiac disease: new implications for nutritional treatment. J Med Food, 17(11), 1159-64. doi: 10.1089/jmf.2014.0025
-
Rejane, M., Daniel, F. C. M., Flair, J. C. (2012). Lactose intolerance: diagnosis, genetic, and clinical factors. Clin Exp Gastroenterol, 5, 113–121. doi: 2147/CEG.S32368
-
Hutyra, T., Iwa?czak, B. (2009). Lactose intolerance: pathophysiology, clinical symptoms, diagnosis and treatment. Pol Merkur Lekarski, 26(152), 148-52
-
Shaukat, A., Levitt, M. D., Taylor, B. C., MacDonald, R., Shamliyan, T. A., Kane, R. L., Wilt, T. J. (2010). Systematic review: effective management strategies for lactose intolerance. Ann Intern Med, 152(12), 797-803. doi: 10.7326/0003-4819-152-12-201006150-00241